MEMAHAMI PELECEHAN SEKSUAL
MEMAHAMI PELECEHAN SEKSUAL
Kasus pelecehan
yang terjadi di Indonesia masih menjadi hal yang banyak terjadi. Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan
mencapai angka tertinggi pada
tahun 2020 sekitar 7.191 kasus. Tidak bisa dibayangkan seberapa banyak orang yang.
APA ITU PELECEHAN SEKSUAL?
Pelecehan seksual
adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan,
permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau
isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual,
yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi
(Gajimu.com)
Sedangkan
pengertian dari pelecehan seksual anak
menurut Ratican (1992) dalam Hall dan Hall (2011) adalah sebagai setiap tindakan
seksual, terbuka atau terselubung,
antara anak dan orang yang lebih tua, di mana partisipasi
anak yang lebih mudah diperoleh melalui rayuan atau paksaaan.
Menurut Maltz (2002) dalam Hall dan Hall (2011), pelecehan seksual terjadi ketika seseorang mendominasi dan mengekploitasi orang lain melalui aktivitas atau sugesti seksual. Sehubungan dengan pengertian tersebut, pelecehan seksual sering dikaitkan dengan penyalahgunaan kekuasaan, dari yang lebih kuat kepada pihak yang lebih lemah, orang dewasa kepada anak-anak, atasan kepada bawahan, di mana korban berada di kondisi yang rentan, kurang berdaya, kurang percaya diri dan tidak mampu melawan.
Pelaku memegang peranan kunci dalam mengombang-ambingkan emosi korban. Mengontrol perasaan dalam pilihan untuk tunduk dan diekpolitasi atau melawan dan dihukum. Korban dintimidasi dalam situasi yang sama-sama merugikan (psycologytoday.com)
MELIHAT SUDUT PANDANG KORBAN
Sebuah film tahun 2013 yang berjudul “Hope” atau “Wish”
produksi negara Korea Selatan adalah satu film yang mengangkat peristiwa pelecehan
seksual pada anak. Diceritakan gadis kecil berusia 8 tahun bernama Sowon
yang ceria dan pintar. Suatu hari, dia tiba-tiba diberhentikan oleh orang asing
saat berangkah sekolah. Dia meminta untuk dipayungi karena saat itu turun
hujan. Laki-laki itu kemudian membawanya ke sebuah gedung pembangunan yang
sepi. Di situlah peristiwa mengerikan terjadi. Sowon ditemukan pingsan dan
terluka, kemudian film berlanjut mengenai bagaimana ketakutan sowon, trauma
yang dia dapat, perjuangan keluarganya untuk mendapat keadilan, dan proses
sebuah harapan kembali lagi dikehidupan anak itu.
Film
ini
sebenarnya dibuat berdasarkan kasus yang
terjadi di Ansan, Korea Selatan
pada bulan Desember 2008 yang dikenal dengan sebutan “nayoung case”. Sebuah kasus
penculikan, pemerkosaan dan
penyiksaan gadis cilik oleh
seorang pria berusia 56 tahun bernama Cho
Doo Soon di kamar mandi di dalam
gereja. Hal itu membuat nayoung
mengalami luka fatal di organ dalamnya dan luka psikis. Pengusutan tindak
kejahatan Cho Doo Soon pun hanya mendapatkan 12 tahun penjara karena kurang
kuatnya bukti, yang membuat nayoung harus bersaksi untuk kedua kalinya mengenai
kejadian traumatis itu.
Cerita lain saya
dapatkan dari situs rainn.org. Kaylee bercerita mengenai pelecehan seksual yang
menimpa dirinya saat ia berusia 9 tahun. Kaylee dilecehkan oleh seorang anggota
keluarga besarnya. Seperti kebanyakan anak, dia tidak bisa memahami apa yang
sedang terjadi saat itu.
“ketika sudah mulai
dewasa, saya tahu kalau hal itu salah, tetapi hal itu sudah terjadi dan saya
sepertinya tampak baik-baik saja”.
Seiring berjalannya
waktu, Kaylee mulai meragukan dirinya sendiri dan khawatir bahwa tidak ada
informasi yang cukup untuk mengatasi hal itu. Kaylee yang berusia 15 tahun,
memutuskan untuk membicarakannya. Kakak Kaylee memeluk dan memberitahunya bahwa
semua akan baik-baik saja. Dukungan itu membuatnya lebih nyaman untuk kemudian
memberitahu ibunya. Ibu Kaylee terkejut, tetapi juga memberi dukungan.
Pelakunya adalah teman dari ayah Kaylee, dia sangat takut untuk menceritakan
peristiwa itu kepadanya, dia takut dengan reaksi yang akan dia dapatkan.
Akhirnya ibu Kaylee yang memberitahu ayahnya, juga dengan paman serta bibinya.
Mereka menjauhkan pelaku darinya. Kaylee menulis untuk membantu menyembuhkan
dirinya, menulis membantunya dalam memahami perasaan.
Kenyataannya, banyak
korban anak-anak bahkan tidak menyadari atau memahami tindakan yang telah
dilakukan kepada mereka adalah sebuah kejahatan seksual. Disebutkan dalam
bbc.com yang mengutip dari children’s
commisioner for england, para korban pelecehan seksual di Inggris sering
tidak berbicara sampai menginjak masa remaja atau jauh sesudahnya, ketika
mereka menyadari apa yang telah terjadi. Hal itu dikarenakan kurangnya
pengetahuan, tidak menyadari pada saat itu, penyangkalan kalau mereka
mengalaminya, adanya rasa takut mengungkapkan.
APA YANG KORBAN RASAKAN
Perasaan dan trauma
yang para korban rasakan bisa jadi sangat berbeda antara satu dengan lainnya.
Faktor yang memengaruhi tingkat trauma bisa ditentukan dari bentuk pelecehan,
usia korban, durasi, frekuensi, dekat atau tidaknya hubungan korban dengan
pelaku, ada tidaknya kekerasan fisik, dan lain sebagainya.
Dalam pvaz.net,
dalam artikel “common feeling of survivor
of sexual assault” ada beberapa
reaksi dari korban. Pertama adalah terkejut,
mematung, mati rasa dan tidak bisa
menggerakkan anggota tubuh yang umum dialami saat kejadian itu berlangsung. Reaksi lain dari shok adalah
menangis tak terkendali, tertawa gugup, menarik diri, atau mengklaim bahwa dia
tidak merasakan apa-apa dan baik-baik saja. Korban juga terkadang merasakan
lelah sampai tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus
menanggapinya.
Dalam
Hellosehat.com, reaksi ini biasa disebut
dengan tonic immobility. Seekor hewan
yang dimangsa juga akan mengeluarkan reaksi yang mirip saat hewan predator
menangkap mereka, hewan yang dimangsa akan diam tak berkutik kemudian pemangsa
akan mengira bahwa ia sudah mati. Sama seperti manusia yang diserang, korban mematung karena merasa sangat
terkejut dan takut, sehingga tidak bisa menjerit meminta tolong, melarikan
diri, atau melawan balik. Namun sayangnya hal ini masih sering disalah pahami
oleh sebagian orang. Mereka menghakimi dan melemparkan kesalahan kepada korban atas
apa yang telah terjadi, seperti korban yang tidak melakukan perlawanan, yang
manut-manut saja, hanya diam saja, tidak melarikan diri, dan lain sebagainya.
Ratican (1992) dalam
Hall & Hall (2011), menjelaskan bahwa ternyata korban anak-anak bisa saja
mengalami amnesia tentang bagian dari masa kecil mereka, meniadakan efek dan
dampak pelecehan seksual, dan pikiran bahwa mereka harus melupakan pelecehan
tersebut. Saat penyerangan terjadi, benak korban berusaha untuk mengosongkan
pikiran. Hal itu dilakukan secara otomatis oleh tubuh, yang kemudian korban tak
akan mengingat-ingat lagi kejadian traumatis tersebut. Beberapa terapis percaya
bahwa pelecehan seksual dapat menyebabkan trauma yang cukup sehingga korban
lupa atau menekan pengalaman sebagai koping mekanisme (Raja, 2009 dalam Hall
& Hall 2011).
Lebih lanjut, para
korban bisa merasa lelah, cemas, takut,
gugup, terkadang mencul flashback
dalam memori, bermimpi buruk, sulit
tidur, atau tidak nafsu makan. Hal itu menyebabkan kesulitan untuk fokus
dan mengganggu kegiatan sehari-hari.
Mereka bisa menjadi merasa takut sendirian atau takut saat bersama orang
banyak.
Pandangan lingkungan
sosial yang negatif terhadap pelecehan seksual dan victim blaming membuat
korban semakin terpuruk. Mulai dari menyalahkan
diri sendiri, merasa menjadi berbeda dari orang lain, tidak berharga, tidak yakin dengan diri sendiri, tidak
percaya diri, sampai merasa takut entah bagaimana orang lain akan tahu
dengan melihat saja. Timbul pemikiran bahwa salah satu perilakunya yang menjadi
penyebab, timbul perasaan seharusnya mereka bisa mencegah hal itu, tidak begitu
saja percaya pada pelaku, tidak berada di sana, dan merasa secara tidak
langsung memprovokasi.
Pikiran
untuk menyalahkan diri sendiri ini
bisa memicu rasa kasihan terhadap pelaku.
Mereka akan merasa bersalah dan khawatir apa yang kan terjadi apabila melaporkannya.
Mereka merasa kejahatan itu dilakukan karena pelaku sedang mempunyai masalah,
dan lebih membutuhkan psikiater daripada terkurung dipenjara. Rasa kasihan ini
bisa timbul dari usaha korban untuk mencoba memahami yang terjadi padanya
terutama jika korban memiliki hubungan dekat dengan dengan pelaku. Tetapi hal ini bisa menyulitkan dalam
mengungkapkan kemarahan dan derita
sesungguhnya yang korban rasakan.
Kecuali rasa malu
dan takut akan penghakiman dari masyarakat, beberapa korban tidak menceritakan
dan mengungkapkan apa yang mereka rasa karena tidak mau menjadi beban bagi
orang lain. Lambat laun mereka akan menjaga jarak dan menarik diri dari
keluarga atau teman-temannya.
Dalam beberapa
minggu atau bulan setelah kejadian tersebut, korban merasa hidup mereka terasa
kacau dan bertanya-tanya apakah akankah bisa kembali normal?
Salah
satu hal yang normal adalah perasaan marah atas kejadian itu, entah karena merasa hidupnya
sudah hilang atau tanggapan dari orang lain yang kurang mendukung. Tetapi
ternyata perasaan marah ini, bisa
menandakan korban sedang menyembuhkan diri
serta mulai bisa melihat bahwa kesalahan ada pada pelaku.
Gejala trauma pada
anak mengenai body issue dan gangguan makan bisa juga terjadi. Secara spesifik
hal itu dialami dengan timbulnya perasaan kotor atau buruk rupa, tidak puas
dengan penampilan, obesitas, juga bisa mengarah pada gangguan pencernaan.
Sebuah penelitian menemukan bahwa penyintas wanita secara signifikan lebih
besar mempunyai masalah medis daripada yang tidak mengalami pelecehan seksual
(Ratican 1992 dalam Hall & Hall 2011).
Setiap korban
memiliki cara yang berbeda dalam merasakan dan mengekspresikan kemarahannya. Namun
perasaan ini masih sering disangkal, bisa karena norma sosial, kepribadian,
atau stereotip bahwa marah itu tidak menyelesaikan masalah atau marah merupakan
perbuatan yang tidak pantas. Rasa marah
ini bisa diekspresikan melalui cara yang sehat atau dipendam dalam waktu yang
lama kemudian menjadi rasa sakit, kesedihan bahkan depresi.
Hall & Hall
(2011) menjabarkan bahwa kekerasan
seksual pada anak-anak dikorelasikan dengan tingkat depresi, perasaan malu, menyalahkan
diri sendiri, perasaan bersalah, gangguan makan, pola kecemasan disosiatif,
represi, penyangkalan, masalah seksual, dan gangguan relationship. Depresi
ditemukan menjadi gejala jangka panjang yang umumnya dialami pada korban.
Stres dan kecemasan
sering menjadi efek jangka panjang dari pelecehan seksual pada anak-anak.
Banyak kejadian penyintas mengalami kecemasan kronis, ketegangan, serangan
kecemasan, dan fobia. Mengutip dari Briere & tunts (1988) dalam Ratican
(1992), sebuah perbandingan dilakukan pada gejala pasca trauma veteran perang
Vietnam dan orang dewasa yang mengalami pelecahan seksual masa kecil, studi itu menunjukkan pelecehan seks dapat
menimbulkan trauma dan gejala yang sebanding dengan gejala PTSD atau gejala
gangguan stres pascatruama pada tentara perang.
Kenyataannya efek
dari kejahatan seksual tidak akan bisa hilang begitu saja setelah kejadian itu
selesai atau pelaku dihukum.
KALAU BEGITU, APA YANG
DIPIKIRKAN PELAKU?
Pertanyaan
selanjutnya, mengapa para pelaku tega melakukan kejahatan itu? Apa yang mereka
pikirkan? Forbes.Com menjawab dengan “No”, mungkin saja mereka tidak berpikir.
Kalau dikorelasikan dengan pengertian berpikir itu adalah mempertimbangkan
secara rasional sebab akibat, konsekuensi, dan prioritas. Jawabannya, tidak, mereka tidak berpikir.
Dari
liputan6.com, Psikolog klinis dari Universitas Maranatha Bandung, Efnie Indrianie menyebutkan
otak reptillah yang mengendalikan para
pemerkosa atau pelaku kejahatan seksual. Bukan persoalan khilaf. Sekadar
hukuman kebiri tidak akan membuat jera pelaku kejahatan seksual. Berdasarkan
pengalamannya sebagai psikolog klinis, terlepas ada pengaruh obat-obatan
terlarang maupun alkohol, orang yang melakukan kejahatan seksual hampir
semuanya memiliki kecenderungan adiksi seksual. Sehingga ketika pelaku
kejahatan seksual yang tertangkap dikebiri, tidak membuatnya menghentikan
tindakan tersebut. Ketika seorang memiliki adiksi seksual, logika berpikirnya
berbeda dengan orang-orang pada umumnya. "Mereka yang sudah adiksi
seksual tidak menggunakan logika berpikir (neokorteks) fungsi otak, tetapi
hanya mengikuti naluri kebutuhan seksual saja. Dengan demikian karakter mereka
lebih didominasi oleh batang otak (brain stem). Orang2 seperti ini akan
bertindak mengikuti dorongan saja dan tidak memanfaatkan logika,"
Dilanjutkan dalam
Forbes.com, tidak ada penjelasan yang spesifik apa yang ada didalam kepala
mereka. Tidak ada alasan tunggal penyebab dari tindakan pelecehan seksual yang
sudah diidentifikasi. Namun terdapat tiga persamaan
psikologis yang ditemukan yang
mengarah pada perilaku pelecean
seksual, yaitu tipe kepribadian, faktor psikologi dan lingkungan sosial. Tetapi,
tidak pasti seseorang yang memiliki beberapa sifat berikut akan langsung
dilabeli dengan pelaku pelecehan seks.
Beberapa tipe kepribadian
itu adalah kurang berempati dengan orang
lainnya, merasa superior, rasa rendah diri mendalam yang tidak disadari,
kebutuhan berlebihan untuk dikagumi, pengendalian diri yang rendah. Orang-orang
yang mempunyai tipe-tipe kepribadian tersebut ditemukan lebih mudah terjerumus
melakukan pelecehan seksual. Faktor psikologi seperti mekanisme pertahanan atau manuver psikologis bawah sadar yang
digunakan kita semua untuk melindungi diri dari emosi yang menyakitkan, merasionalkan perbuatan yang salah, mengalami
kehilangan atau terjadi peruaban signifikan dalam hidupnya dalam waktu dekat
dan kesendirian adalah beberapa yang membuat kecenderungan perilaku.
Sedangkan secara lingkungan sosial, pelaku bisa dikelilingi oleh orang-orang
yang selalu memujinya secara berlebihan, seorang sosiopat, keadaan jauh dari
keluarga atau teman, terisolasi dari dunia luar atau
interaksi sosial, lingkungan yang
meninggikan kekuasaan dan koneksi.
Dalam website INSP
Qebeq, terdapat satu bahasan mengenai kesehatan mental dari pelaku pelecehan
anak-anak. Banyak pelaku yang terdiagnosa mempunyai masalah kesehatan mental
dalam beberapa poin dalam hidup mereka, seperti gangguan mood sekiatar 60%-80%
kasus, gangguan kecemasan 50%-60% kasus dan gangguan kepribadian dalam 70%-80%
kasus. Dalam beberapa penelitian menunjukkan banyak pelaku pedofill juga
didiagnosa penyalahgunaan zat di beberapa titik dalam hidup mereka, sekitar 50%-60%
kasus.
Namun, pada dasarnya tindakan
pelecehan dimulai dari perasaan sendiri dan sebuah keinginan.
Hal itu diikuti dengan tidak ada sesuatu
yang menjadi penghalang untuk melakukannya. Pelaku hidup dalam prinsip “i feel
it, i want it, im going to get it. Because im entitled to whatever i want”.
Namun ternyata, dinamika dari kasus perundungan mempunyai kemiripan dengan pelecahan
seksual, jadi tidak mengejutkan apabila kedua hal itu mempunyai keterkaitan.
Bagaimanapun
saya mencari alasan dibalik perilaku pelecahan seksual, tidak ada yang secara
pasti menjelaskannya secara lebih mudah. Banyak faktor yang mempengaruhinya dan
berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Sebuah cerita dari sudut pandang
pelaku banyak diungkapkan dalam quora, mereka banyak mengungkapkan betapa berat
hidup menjadi mantan pelaku pelecehan seksual. Namun, belum ada cerita yang
saya temukan mengenai sudut pandang pelaku saat menjadi salah satunya.
Daftar
Pustaka :
Guerguecon, P.
2021. What Was He Thinking? Inside the Mind of Sexual Harasser. https://www.forbes.com/sites/prudygourguechon/2021/03/22/what-was-he-thinking-inside-the-mind-of-a-sexual-harasser/?sh=19d5d5c54957
INSP Qebeq. Preparators. https://www.inspq.qc.ca/en/sexual-assault/understanding/perpetrators?__cf_chl_captcha_tk__=pmd_d189c58ae59c19843993d24a8e6b98eb78ea2ed7-1627983907-0-gqNtZGzNAuKjcnBszQi6
Pvaz.net. Common Feelings of
Survivors of Sexual Assault. https://www.pvaz.net/DocumentCenter/View/8943/Common-Feelings-of-Survivors-of-Sexual-Assault
Hall, M., & Hall, J. (2011).
The long-term effects of childhood sexual abuse: Counseling implications.
Retrieved from http://counselingoutfitters.com/vistas/vistas11/Article_19.pdf
Desideria,
B. 2016. Ini Dia yang ada dalam Pikiran Pelaku Kejahatan Seksual. https://www.liputan6.com/health/read/2504981/ini-dia-yang-ada-dalam-pikiran-pelaku-kejahatan-seksual
Gajimu.com. https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/perlakuan-adil-saat-bekerja/pelecehan-seksual/informasi-mengenai-pelecehan-seksual-indonesia
picture credit :
Photo by Markus Spiske on Unsplash
https://unsplash.com/@verneho
Photo by Road Trip with Raj on Unsplash
https://unsplash.com/@jessemartini
https://unsplash.com/@peterboccia
Comments
Post a Comment