Gen Pemalas?
pict from Photo by Zhang Kenny on Unsplash
Pernah kepikiran nggak sih? Apakah gen mempengaruhi kemalasan yg kita punya. Diluar dari pembahasan mengenai terbentuknya sifat seseorang yang berasal dari faktor internal dan iksternal, sifat malas ini pernah di bahas dalam sciencelass.com dalam artikelnya dijelaskan Secara ilmiah, saat seseorang melakukan sesutau yang mereka sukai, otak mereka akan melepaskan zat kimia hormon dopamine yang akan mengaktifkan sinyal di reseptro otak kamu, kemudian otak kamu menerima sinyal itu berupa, “hai kamu suka melakukan ini, hal ini menyenangkan untuk dilakukan” yang nantinya akan membuat kamu rajin melakukannya.
Pada orang yang malas, reseptor nggak bisa menerima sinyal ‘dopamine’ ini. Mereka jadi males, artinya nggak ada rasa senang saat melakukannya. Ada satu gen yang disebut SLC35D3, yang mengintruksi untuk membuat protein yang berperan utama dalam penerimaan terhadap dopamine di sel otakmu. Dari sifat gen yang turun termurun, mungkin kamu bisa saja mewarisi ‘kesenangan’ terhadap sesuatu atau ‘ketidaksenangan’ dari orangtua kamu. Juga, seperti semua gen, kesalahan terkadang terjadi selama replikasi dan/atau transkripsi. Hasil dari kesalahan kecil ini terkadang menyebabkan mutasi. Mutasi ini adalah alasan variasi di antara kesenangan atau ketidaksenangan terhadap suatu hal. Para peneliti mempelajari heritabilitas genetik dari gen-gen ini dengan mengamati perilaku beberapa tikus.
Mereka membedakan kepada dua kategori, yang pertama adalah kelompok tikus yang aktif bergerak dan moving around, dan yang kedua berperilaku sebaliknya. Setelah 10 generasi, para peneliti mencatat bahwa ada perbedaan level keaktifan antara keduanya. Kelompok yang malas menjadi lebih malas dan grup yang aktif menjadi lebih aktif.
Apakah hal ini sudah nggak bisa dirubah?
Nggak dong, kamu bisa merubahnya. Dengan memaksa kamu melakukan sesuatu walaupun saat kamu malas melakukannya, lama kelamaan akan terjadi peningkatan penerimaan pada reseptor otak kamu terhadap pelepasan dopamine ini. Jadi semakin kamu membiasakannya, semakin kamu akan senang dan suka saat melakukannya, semakin kamu ingin melakukannya, kamu akan semakin aktif. Nantinya rasa senang, aktif dan rajin ini akan diturunkan juga kepada anak-anakmu.
Tapi apabila kamu semakin malas dan tidak memaksa diri kamu, maka akan semakin sulit anak-anakmu akan menyukai melakukan sesuatu itu. Eh tapi bentar, reseptor kan menerima zat kimia dopamine yang terbentuk dalam otak saat kita melakukan sesuatu, terus semisal pas kita melakukan sesuatu tapi ternyata nggak ada zat dopamine yg terbentuk untuk nanti diterima reseptor gimana donggg?
Terus, gimana caranya biar konsisten saat memaksa diri kita untuk melakukan suatu kebiasaan padahal kita emang lagi males? Mbuh ah, Next –
daftar pustaka : https://www.independent.co.uk/news/science/being-lazy-could-be-genetic-say-scientists-9128595.html
take references from : Gander, K. (2014, February 14). Being lazy could be genetic say scientists. Retrieved from http://www.independent.co.uk/news/science/being-lazy-could-be-genetic-say-scientists-9128595.html
Pernah kepikiran nggak sih? Apakah gen mempengaruhi kemalasan yg kita punya. Diluar dari pembahasan mengenai terbentuknya sifat seseorang yang berasal dari faktor internal dan iksternal, sifat malas ini pernah di bahas dalam sciencelass.com dalam artikelnya dijelaskan Secara ilmiah, saat seseorang melakukan sesutau yang mereka sukai, otak mereka akan melepaskan zat kimia hormon dopamine yang akan mengaktifkan sinyal di reseptro otak kamu, kemudian otak kamu menerima sinyal itu berupa, “hai kamu suka melakukan ini, hal ini menyenangkan untuk dilakukan” yang nantinya akan membuat kamu rajin melakukannya.
Pada orang yang malas, reseptor nggak bisa menerima sinyal ‘dopamine’ ini. Mereka jadi males, artinya nggak ada rasa senang saat melakukannya. Ada satu gen yang disebut SLC35D3, yang mengintruksi untuk membuat protein yang berperan utama dalam penerimaan terhadap dopamine di sel otakmu. Dari sifat gen yang turun termurun, mungkin kamu bisa saja mewarisi ‘kesenangan’ terhadap sesuatu atau ‘ketidaksenangan’ dari orangtua kamu. Juga, seperti semua gen, kesalahan terkadang terjadi selama replikasi dan/atau transkripsi. Hasil dari kesalahan kecil ini terkadang menyebabkan mutasi. Mutasi ini adalah alasan variasi di antara kesenangan atau ketidaksenangan terhadap suatu hal. Para peneliti mempelajari heritabilitas genetik dari gen-gen ini dengan mengamati perilaku beberapa tikus.
Mereka membedakan kepada dua kategori, yang pertama adalah kelompok tikus yang aktif bergerak dan moving around, dan yang kedua berperilaku sebaliknya. Setelah 10 generasi, para peneliti mencatat bahwa ada perbedaan level keaktifan antara keduanya. Kelompok yang malas menjadi lebih malas dan grup yang aktif menjadi lebih aktif.
Apakah hal ini sudah nggak bisa dirubah?
Nggak dong, kamu bisa merubahnya. Dengan memaksa kamu melakukan sesuatu walaupun saat kamu malas melakukannya, lama kelamaan akan terjadi peningkatan penerimaan pada reseptor otak kamu terhadap pelepasan dopamine ini. Jadi semakin kamu membiasakannya, semakin kamu akan senang dan suka saat melakukannya, semakin kamu ingin melakukannya, kamu akan semakin aktif. Nantinya rasa senang, aktif dan rajin ini akan diturunkan juga kepada anak-anakmu.
Tapi apabila kamu semakin malas dan tidak memaksa diri kamu, maka akan semakin sulit anak-anakmu akan menyukai melakukan sesuatu itu. Eh tapi bentar, reseptor kan menerima zat kimia dopamine yang terbentuk dalam otak saat kita melakukan sesuatu, terus semisal pas kita melakukan sesuatu tapi ternyata nggak ada zat dopamine yg terbentuk untuk nanti diterima reseptor gimana donggg?
Terus, gimana caranya biar konsisten saat memaksa diri kita untuk melakukan suatu kebiasaan padahal kita emang lagi males? Mbuh ah, Next –
daftar pustaka : https://www.independent.co.uk/news/science/being-lazy-could-be-genetic-say-scientists-9128595.html
take references from : Gander, K. (2014, February 14). Being lazy could be genetic say scientists. Retrieved from http://www.independent.co.uk/news/science/being-lazy-could-be-genetic-say-scientists-9128595.html
Comments
Post a Comment